Rabu, 03 September 2014

Wanita Senja

Di daerah tempat tinggalku, ada seorang mbah-mbah sepuh yang ku kenal dengan nama mbah Bungkil. Entah nama asli ataukah nama julukan saya kurang tahu, namun sejak aku di sini semua orang memanggilnya dengan sebutan mbah Bungkil. 

Mbah Bungkil kini usianya sekitar 75 tahun lebih. Beliau mempunyai satu anak laki-laki yang ku kenal sebagai orang yang tidak seperti orang kebanyakan. Agak aneh kalau orang-orang bilang. Mungkin karena gayanya yang nge slow ditambah sering jadi bahan ejekan dan bulan-bulanan orang. Apalagi kalau dia ngomong, menunjukkan seperti orang tidak seratus persen


Pertemuan pertamaku dengan mbah Bungkil sekitar tiga tahun yang lalu, ketika aku berstatus sebagai orang baru di daerah ini. Waktu itu, aku dan suami pergi ke pasar, di sana aku menjumpai mbah Bungkil duduk berjajar bersama para penjual yang lain. Dia menjajakan barang dagangan yang menurutku aneh, yaitu jambu ceplik, jambu kecil-kecil yang sekarang mulai langka dan rasanya cenderung asam. Pun dengan jumlah jambu yang tidak terlalu banyak untuk ukuran pedagang, hanya sekitar 25 buah saja. Waktu itu aku tidak begitu mempedulikannya, karena aku memang tidak mengenalnya. Baru sampai rumah aku bertanya pada suamiku dan baru tahu bahwa itu adalah mbah Bungkil. 


Mbah Bungkil ini, tidak hanya berjualan di pasar musiman saja (di sini pasar hanya ramai pada pasaran tertentu, seperti legi, pahing, pon, wage atau kliwon red), tetapi juga berjualan di sekolah sore tempat anak - anak belajar mengaji. Kadang kalau ada keramaian seperti acara kirab, karnaval atau acara-acara hiburan, mbah Bungkil selalu tak ketinggalan membuka stand nya.


Di tengah panas terik matahari, mbah Bungkil tidak menggunakan waktunya untuk tidur siang atau dorongan seperti umumnya orang di sini. Beliau memilih untuk melangkahkan kakinya menjemput rejeki. Walaupun di sana ada banyak penjual yang menjajakan barang dagangannya dengan lebih meriah, bervariasi, namun mbah Bungkil tak gentar. Beliau dengan menggendong rinjingnya berangkat menerjang panasnya matahari. Barangkali beliau percaya bahwa rejeki itu sudah ada yang mengatur, dan rejeki itu memamg harus dijemput, tidak bisa datang dengan berpangku tangan lalu datang dengan sendirinya. 


Aku salut sekali, di usianya yang tidak lagi muda, raganya tak lagi sekuat yang dulu, namun beliau tetap semangat untuk mencari rejeki yang halal, sejauh yang beliau mampu. Mbah Bungkil tidak lantas berpangku tangan, tidak hanya menengadahkan tangannya untuk rupiah dari belas kasihan orang lain. 

Potret ini sangat bertolak belakang dengan yang sering kita lihat di pinggir jalan, di lampu merah, atau di depan toko-toko. Mereka dengan santainya mengemis, padahal raganya masih kuat. Ironis sekali memang. 




Inilah mbah Bungkil, dengan dagangan minimalisnya, pada saat ada acara kirab pusaka di daerah kami. 

Mbah Bungkil, seorang renta yang masih mempunyai semangat untuk mencari rejeki, walaupun di tengah panas matahari yang menyengat. Beliau selalu pulang di kala senja, saat sang mentari akan pulang ke peraduannya, sama seperti mbah Bungkil yang baru akan kembali ke gubuknya saat senja tiba. Maka aku sering menjukinya wanita senja...

2 komentar:

  1. Semoga mbah Bungkil selalu sehat ya mbak... aku sering kasihan lihat mbah2 yg masih jualan begitu...
    Kadang sy tanya2 kmn anaknya, knp kok sdh sepuh masih jualan.... jwbannya jg macam2 ada yg kr utk mengisi hari tua, ada yg mmg tdk ada yg menafkahi dll.... salut dengan semangat mereka mbak...

    BalasHapus
  2. Aamiin.. Semoga si mbah sehat selalu dan kita yang masih muda tidak kalah semangatnya dengan beliau. :-)

    BalasHapus